Sabtu, 07 November 2009

KUMPULAN MAKALAH

ILMU PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
UNTUK MAHASISWA UNISI INHIL DAN UMUM
BY : GUNTUR GUSDIANTO

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Menurut Langgulung pendidikan Islam tercakup dalam delapan pengertian, yaitu At-Tarbiyyah Ad-Din (Pendidikan keagamaan), At-Ta’lim fil Islamy (pengajaran keislaman), Tarbiyyah Al-Muslimin (Pendidikan orang-orang islam), At-tarbiyyah fil Islam (Pendidikan dalam islam), At-Tarbiyyah ‘inda Muslimin (pendidikan dikalangan Orang-orang Islam), dan At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (Pendidikan Islami).
Arti pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori.
Hakikat manusia menurut Islam adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.
Manusia sempurna menurut Islam adalah jasmani yang sehat serta kuat dan Berketerampilan, cerdas serta pandai.
Tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah pendidikan dalam perspektif islam?
2. Bagaimanakah Definisi ilmu pendidikan islam ?
3. Bagaimanakah Tujuan Umum Pendidikan Manusia?

C. Metode penulisan makalah
D. Maksud dan tujuan

BAB II
PEMBAHASAN MAKALAH
A. Pendidikan Dalam Perspektif Islam
Pengertian pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaan. Pendidik Islam ialah Individu yang melaksanakan tindakan mendidik secara Islami dalam situasi pendidikan islam untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Menurut Langgulung (1997), pendidikan Islam tercakup dalam delapan pengertian, yaitu At-Tarbiyyah Ad-Din (Pendidikan keagamaan), At-Ta’lim fil Islamy (pengajaran keislaman), Tarbiyyah Al-Muslimin (Pendidikan orang-orang islam), At-tarbiyyah fil Islam (Pendidikan dalam islam), At-Tarbiyyah ‘inda Muslimin (pendidikan dikalangan Orang-orang Islam), dan At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (Pendidikan Islami).
Pendidik Islam ialah Individu yang melaksanakan tindakan mendidik secara Islami dalam situasi pendidikan islam untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Para ahli pendidikan lebih menyoroti istilah-istilah dari aspek perbedaan antara tarbiyyah dan ta’lim, atau antara pendidikan dan pengajaran. Dan dikalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan biasanya lebih diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap atau kepribadian, atau lebih mengarah kepada afektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotor.
Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental, dan sosial sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak, yang kedua pengertian ini harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist). Menurut Prof. Dr. Mohammad Athiyah al Abrasyi pendidik itu ada tiga macam :
1. Pendidikan Kuttab
Pendidikan ini ialah yang mengajarkan al Qu’ran kepada anak-anak dikuttab. Sebagian diantara mereka hanya berpengetahuan sekedar pandai membaca, menulis dan menghafal al Qur’an semata.
2. Pendidikan Umum
Ialah pendidikan pada umumnya, yang mengajarkan dilembaga-lembaga pendidikan dan mengelola atau melaksanakan pendidikan Islam secara formal sperti madrasah-madrasah, pondok pesantren ataupun informal seperti didalam keluarga.
3. Pendidikan Khusus
Adalah pendidikan secara privat yang diberikan secara khusus kepada satu orang atau lebih dari seorang anak pembesar kerajaan (pejabat) dan lainnya.
B. Defenisi Ilmu Pendidikan Islam
Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori, tetapi isi lain juga ada ialah :
1. Teori.
2. Penjelasan tentang teori itu.
3. Data yang mendukung tentang penjelasan itu.
Islam adalah nama Agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw, yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia ; ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al Qur’an dan hadist serta aqal. Penggunaan dasarnya haruslah berurutan :al Qur’an lebih dahulu ; bila tidak ada atau tidak jelas dalam al Qur’an maka harus dicari dalam hadist ; bila tidak ada atau tidak jelas didalam hadist, barulah digunakan aqal (pemikiran), tetapi temuan aqal tidak boleh bertentangan dengan jiwa al Qur’an dan hadist.
C. Tujuan Umum Pendidikan Manusia
1. Hakikat manusia menurut Islam
Manusia adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.
Dalam teori pendidikan lama, yang dikembangkan didunia barat, dikatakan bahwa perkembangannya seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme) sebagai lawannya berkembang pula teori yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh lingkungannya (empirisme), sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga yang mengatakan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya (konvergensi)
Manusia adalah makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani sebagai potensi pokok, manusia yang mempunyai aspek jasmani, disebutkan dalam surah al Qashash ayat : 77 :
“Carilah kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadamu tidak boleh melupakan urusan dunia “
2. Manusia Dalam Pandangan Islam
Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup didunia.
Manusia mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan kepada akal tidak hanya satu macam. Harun Nasution menerangkan ada tujuh kata yang digunakan :
1. Kata Nazara, dalam surat al Ghasiyyah ayat 17 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan”
2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”
3. Kata Tafakkara, dalam surat an Nahl ayat 68 :
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempattempat yang dibikin manusia”.
4. Kata Faqiha, dalam surat at Taubah 122 :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
5. Kata Tadzakkara, dalam surat an Nahl ayat 17 :
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.
6. Kata Fahima, dalam surat al Anbiya ayat 78 :
“Dan ingatlah kisah daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”.
7. Kata ‘Aqala, dalam surat al Anfaal ayat 22 :
“Sesungguhnya binatang(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun.
Manusia mempunyai aspek rohani seperti yang dijelaskan dalam surat al Hijr ayat 29 :
“Maka Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan kedalamnya roh-Ku, maka sujudlah kalian kepada-Nya”.
3. Manusia Sempurna Menurut Islam
a. Jasmani Yang sehat Serta Kuat dan Berketerampilan
Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat mentalnya karena inti ajaran Islam (iman). Kesehatan mental berkaitan erat dengan kesehatan jasmani, karena kesehatan jasmani itu sering berkaitan dengan pembelaan Islam.
Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan dengan ciri lain yang dikehendaki ada pada Muslim yang sempurna, yaitu menguasai salah satu ketrampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.
Para pendidik Muslim sejak zaman permulaan - perkembangan Islam telah mengetahui betapa pentingnya pendidikan keterampilan berupa pengetahuan praktis dan latihan kejuruan. Mereka menganggapnya fardhu kifayah, sebagaimana diterangkan dalam surat Hud ayat 37 :
“Dan buatlah bahtera itu dibawah pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan jangan kau bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu karena meeka itu akan ditenggelamkan”.
b. Cerdas Serta Pandai
Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai yang ditandai oleh adanya kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai di tandai oleh banyak memiliki pengetahuan dan informasi. Kecerdasan dan kepandaian itu dapat dilihat melalui indikator-indikator sebagai berikut :
a) Memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi.
b) Mampu memahami dan menghasilkan filsafat.
c) Rohani yang berkualitas tinggi.
Kekuatan rohani (tegasnya kalbu) lebih jauh daripada kekuatan akal. Karena kekuatan jasmani terbatas pada objek-objek berwujud materi yang dapat ditangkap oleh indera.
Islam sangat mengistemewakan aspek kalbu. Kalbu dapat menembus alam ghaib, bahkan menembus Tuhan. Kalbu inilah yang merupakan potensi manusia yang mampu beriman secara sungguh-sungguh. Bahkan iman itu, menurut al Qur’an tempatnya didalam kalbu.
4. Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
1. Bahagia di dunian dan akhirat.
2. menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.
4. Akhlak mulia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu dalam perspektif Islam bukan hanya mempelajari masalah keagamaan (akhirat) saja, tapi juga pengetahuan umum juga termasuk. Orang Islam dibekali untuk dunia akhirat, sehingga ada keseimbangan. Dan ilmu umum pun termasuk pada cabang (furu’) ilmu agama.
Dan umat Islam sempat merasakan puncak keemasannya, dimana disaat bangsa Eropa mengidap penyakit hitam, umat islam sudah menemukan sabun, di saat jalan-jalan di Eropa kumuh, gelap, tidak teratur, umat islam sudah punya jalan-jalan yang indah, penerangan, bahkan sistem irigasi yang sudah maju.
DAFTAR PUSTAKA



MAKALAH ILMU PENDIDIKAN TENTANG ANALISA FILSAFAT DAN MASALAH KEPENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah
Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Allah Yang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Dalam tujuan Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan ditujukan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas yang dideskripsikan dengan jelas dalam UU No. 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, berjiwa patriotik, cinta tanah air, mempunyai semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, menghargai jasa pahlawan, dan berorientasi pada masa depan.
Pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu atau pribadi, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1990. Selain pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia, pendidikan juga diperuntukkan guna pembinaan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II
PEMBAHASAN


A. Permasalahan Pendidikan
Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama dengan sebaik-baiknya. Filsafat dalam pendidikan (filsafat pendidikan) digunakan untuk memecahkan problem hidup dan kehidupan manusia sepanjang perkembangannya dan digunakan untuk memecahkan problematika pendidikan masa kini.
Beberapa masalah pendidikan yang memerlukan filsafat, yaitu :
1. Masalah pertama dan yang mendasar ialah tentang hakikat pendidikan.
Mengapa pendidikan itu harus ada pada manusia. Adalah merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Apakah hakikat manusia itu dan bagaimana hubungan antara pendidikan dengan hidup dan kehidupan manusia?
2. Apakah pendidikan itu berguna untuk membina kepribadian manusia?
Apakah potensi hereditas yang menentukan kepribadian manusia? Apakah ada faktor yang dari luar dan lingkungan, tetapi tidak berkembang dengan baik?
3. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu? Apakah pendidikan itu untuk individu atau untuk kepentingan masyarakat? Apakah pembinaan itu untuk dan demi kehidupan riil dan material di dunia ataukah untuk kehidupan di akhirat kelak?
4. Siapakah hakikatnya yang bertanggung jawab atas pendidikan?
Bagaimana hubungan tanggung jawab antara keluarga, masyarakat, dan sekolah terhadap pendidikan?
5. Apakah hakikat kepribadian manusia itu? Manakah yang lebih untuk dididik; akal, perasaan, atau kemauannya, pendidikan jasmani atau mentalnya, pendidikan skill ataukah intelektualnya atau kesemuanya itu?
6. Apakah hakikat masyarakat dan bagaimana kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah individu itu independen, ataukah dependen dalam masyarakat? 7. Apakah isi kurikulum yang relevan dengan pendidikan yang ideal? Apakah kurikulum itu mengutamakan pembinaan kepribadian?
8. Bagaimana metoda pendidikan yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan yang ideal? Bagaimana kepemimpinannya dan pengaturan aspek-aspek sosial paedagogis lainnya?
9. Bagaimana asas penyelenggaraan pendidikan yang baik, apakah sentralisasi, desentralisasi, ataukah otonomi, apakah oleh Negara, ataukah swasta?

Permasalahan-permasalahan tersebut dapat dijawab dengan analisa filsafat sebagai berikut :
Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk Allah yang dibekali dengan berbagai kelebihan, di antaranya kemampuan berfikir, kemampuan berperasaan, kemampuan mencari kebenaran, dan kemampuan lainnya. Kemampuan-kemampuan tersebut tidak akan berkembang apabila manusia tidak mendapatkan pendidikan. Allah SWT dengan jelas memerintahkan kita untuk “IQRO” dalam surat Al-Alaq yang merupakan kalamullah pertama pada Rosulullah SAW. Iqro di sini tidak bisa diartikan secara sempit sebagai “bacalah”, tetapi dalam arti luas agar manusia menggunakan dan mengembangkan kemampuan-kemampuan yang telah Allah SWT berikan sebagai khalifah fil ardl. Sehingga pendidikan merupakan sarana untuk melaksanakan dan perwujudan tugas manusia sebagai utusan Allah di bumi ini. Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.

Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing. Sejak dahulu, disepakati bahwa dalam pribadi individu tumbuh atas dua kekuatan yaitu : kekuatan dari dalam (kemampuan-kemampuan dasar), Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan istilah “faktor dasar” dan kekuatan dari luar (faktor lingkungan), Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan istilah “faktor ajar”. Teori konvergensi yang berpendapat bahwa kemampuan dasar dan faktor dari luar saling memberi pengaruh, kedua kekuatan itu sebenarnya berpadu menjadi satu. Si pribadi terpengaruh lingkungan, dan lingkungan pun diubah oleh si pribadi. Faktor-faktor intern (dari dalam) berkembang dan hasil perkembangannya digunakan untuk mengembangkan pribadi di lingkungan. Factor dari luar dan lingkungan kadang tidak berkembang dengan baik, misalnya ketika pribadi terpengaruh oleh hal-hal negatif yang timbul dari luar dirinya.

Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Secara sederhana Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama.Tujuan Pendidikan Nasional adalah menghasilkan manusia yang berkualitas yang dideskripsikan dengan jelas dalam UU No 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan GBHN 1993, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, berjiwa patriotik, cinta tanah air, mempunyai semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, menghargai jasa pahlawan, dan berorientasi pada masa depan. Pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu atau pribadi, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UUSPN dan PP No 29 Tahun 1990. selain pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia, pendidikan juga diperuntukkan guna pembinaan masyarakat. Berikut adalah penjelasannya :
a. Pengembangan kehidupan sebagai pribadi sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk: 1) memperkuat dasar keimanan dan ketakwaan, 2) membiasakan untuk berprilaku yang baik, 3) memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, 4) memelihara kesehatan jasmani dan rohani, 5) memberikan kemampuan untuk belajar, dan membentuk kepribadian yang mantap dan mandiri.
b. Pengembangan kehidupan sebagai anggota masyarakat :1) memperkuat kesadaran hidup beragama dalam masyarakat, 2) menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam lingkungan hidup, 3) memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat.
c. Pengembangan kehidupan sebagai warga Negara mencakup upaya untuk : 1)
mengembangkan perhatian dan pengetahuan hak dan kewajiban sebagai warga Negara RI, 2) menanamkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa dan Negara, 3) memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
d. Pengembangan kehidupan sebagai umat manusia mencakup upaya untuk : 1)
meningkatkan harga diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, 2) meningkatkan kesadaran tentang HAM, 3) memberikan pengertian tentang ketertiban dunia, 4) meningkatkan kesadaran tentang pentingnya persahabatan antar bangsa, 5) mempersiapkan peserta didik untuk menguasai isi kurikulum.
Pembinaan tersebut pada dasarnya dipersiapkan untuk kehidupan riil dan material di dunia serta kehidupan di akhirat kelak.
4. Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak. Keluarga yang menghadirkan anak ke dunia, secara kodrat bertugas mendidik anak. Kebiasaan-kebiasaan yang ada di keluarga akan sangat membekas dalam diri individu setelah individu makin tumbuh berkembang. Selanjutnya pengaruh dari sekolah dan masyarakat yang akan tertanam dalam diri anak.
5. Kata kepribadian berasal dari kata personality (bahasa Inggris) yang berasal dari kata persona (bahasa Latin yang berarti kedok/ topeng) yang maksudnya menggambarkan perilaku, watak/ pribadi seseorang. Hal itu dilakukan oleh karena terdapat ciri-ciri yang khas yang dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik ataupun yang kurang baik.
Kepribadian adalah suatu totalitas psikophisis yang kompleks dari individu sehingga nampak di dalam tingkah lakunya yang unik. Hal-hal yang ada pada diri individu atau pribadi manusia pada dasarnya harus mendapatkan pendidikan, yakni akal, perasaan, kemauan, pendidikan jasmani atau mental, kemampuan atau keterampilan, serta intelektualnya. Semua hal tersebut dididik guna mencapai kepribadian yang baik.
6. Masyarakat merupakan tempat kedua bagi individu dalam berinteraksi. Karena keluarga terdapat dan berkumpul dalam suatu masyarakat. Secara sadar atau tidak keadaan masyarakat cukup memberi pengaruh kepada kepribadian seseorang. Kedudukan individu dalam masyarakat merupakan kondisi atau situasi yang tidak dapat dihindari karena individu juga merupakan makhluk social yang pasti membutuhkan manusia lain dalam hidupnya. Artinya, individu itu dependen dalam masyarakat.
7. Kurikulum yang relevan dengan pendidikan yang ideal adalah kurikulum yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Kurikulum menekankan pada aspek kognitif, afektif, dan pertumbuhan yang normal. Pembinaan kepribadian merupakan kajian utama kurikulum. Materi program berupa kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan self-esteem, motivasi berprestasi, kemampuan pemecahan masalah perumusan tujuan, perencanaan, efektifitas, hubungan antar pribadi, keterampilan berkomunikasi, keefektifan lintas budaya, dan perilaku yang bertanggung jawab.
8. Metode pendidikan sangat berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pendidikan yang ideal. Metode yang tepat jika mengandung nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik yang sejalan dengan mata pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam.
Guru sebagai pendidik mempunyai tanggung jawab untuk memilih, menggunakan dan memberikan metode yang efektif dalam mencapai tujuan pendidikan yang tercantum dalam kurikulum. Kepemimpinan dan pengaturan aspek-aspek paedagogis harus dilakukan para pelaku pendidikan guna memperlancar proses tercapainya tujuan pendidikan yang ideal.
9. Pengertian-pengertian :
a. Sentralisasi, yaitu wewenang mengenai segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan diatur oleh pemerintah pusat.
b. Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan dan pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Otonomi Daerah, yaitu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pengamatan penyusun, asas penyelenggaraan pendidikan yang baik yaitu dengan otonomi, yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan terselenggaranya proses pendidikan diatur dan dilaksanakan oleh daerah otonom berdasarkan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat, sehingga kelak para pelaku pendidikan mampu mengembangkan segala kompetensi di daerah tempat mereka hidup.

BAB III
PENUTUP

A. kesimpulan
Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing.

Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak.


DAFTAR PUSTAKA











MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU
BERBASIS SEKOLAH
Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah
untuk peningkatan mutu

Bab I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
2. Tujuan
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
a. Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.
b. Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
c. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
d. Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing - masing.
e. Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
f. Memotivasi timbulnya pemikiran - pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.
g. Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.
h. Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan.



Bab II
Pembahasan Makalah
1. 1 Pengertian Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah.
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pandidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan kualitas total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.
2.2 Pengertian mutu
Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai . Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
2.3 Kerangka kerja dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut ;
a. Sumber daya;
sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk : (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
b. Pertanggung-jawaban (accountability);
sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
c. Kurikulum;
berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
• pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
• bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
• pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
d. Personil sekolah;
sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.
Konsekwensi logis dari itu, sekolah harus diperkenankan untuk:
• mengembangkan perencanaan pendidikan dan prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah.
• Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk peningkatan mutu.
• Menyajikan laporan terhadap hasil dan performannya kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan pendidikan (pertanggung jawaban kepada stake-holders).
Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman kepada kita bahwa tanggung jawab peningkatan kualitas pendidikan secara mikro telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut.
Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa hanya sekolah yang sekolah yang dikelola secara efektiflah (dengan manajemen yang berbasis sekolah) yang akan mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan.
Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif baku atau standar minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otorits pendiidikan lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan kebijakan pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan masyarakat untuk bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap komunitas masyarakat.
Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.
Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.
2.4 Strategi pelaksanan di tingkat sekolah
Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut :
• Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.
• Melakukan evaluasi diri (self assesment) utnuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil sekolah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.
• Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.
• Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya. Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang. Perencanaan program sekolah ini harus mencakup indikator atau target mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM rata-rata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb). Program sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah dan sekolah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapa yang akan menyampaikannya.
Dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah kondisi alamiah total sumber daya yang tersedia dan prioritas untuk melaksankan program. Oleh karena itu, sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dimungkinkan bahwa program tertentu lebih penting dari program lainnya dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar. Kondisi ini mendorong sekolah untuk menentukan skala prioritas dalam melaksanakan program tersebut. Seringkali prioritas ini dikaitkan dengan pengadaan preralatan bukan kepada output pembelajaran. Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen tersebut sekolah harus membuat skala prioritas yang mengacu kepada program-program pembelajaran bagi siswa. Sementara persetujuan dari proses pendanaan harus bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan keuangan melainkan harus merefleksikan kebijakan dan prioritas tersebut. Anggaran harus jelas terkait dengan program yang mendukung pencapaian target mutu. Hal ini memungkinkan terjadinya perubahan pada perencanaan sebelum sejumlah program dan pendanaan disetujui atau ditetapkan.
• Prioritas seringkali tidak dapat dicapai dalam rangka waktu satu tahun program sekolah, oleh karena itu sekolah harus membuat strategi perencanaan dan pengembangan jangka panjang melalui identifikasi kunci kebijakan dan prioritas. Perencanaan jangka panjang ini dapat dinyatakan sebagai strategi pelaksanaan perencanaan yang harus memenuhi tujuan esensial, yaitu : (i) mampu mengidentifikasi perubahan pokok di sekolah sebagai hasil dari kontribusi berbagai program sekolah dalam periode satu tahun, dan (ii) keberadaan dan kondisi natural dari strategi perencanaan tersebut harus menyakinkan guru dan staf lain yang berkepentingan (yang seringkali merasakan tertekan karena perubahan tersebut dirasakan harus melaksanakan total dan segera) bahwa walaupun perubahan besar diperlukan dan direncanakan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa, tetapi mereka disediakan waktu yang representatif untuk melaksanakannya, sementara urutan dan logika pengembangan telah juga disesuaikan. Aspek penting dari strategi perencanaan ini adalah program dapat dikaji ulang untuk setiap periode tertentu dan perubahan mungkin saja dilakukan untuk penyesuaian program di dalam kerangka acuan perencanaan dan waktunya.
• Melakukan monitoring dan evaluasi untuk menyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan, apakah tujuan telah tercapai, dan sejauh mana pencapaiannya. Karena fokus kita adalah mutu siswa, maka kegiatan monitoring dan evaluasi harus memenuhi kebutuhan untuk mengetahui proses dan hasil belajar siswa. Secara keseluruhan tujuan dan kegiatan monitoring dan evaluasi ini adalah untuk meneliti efektifitas dan efisiensi dari program sekolah dan kebijakan yang terkait dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Seringkali evaluasi tidak selalu bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, oleh karenanya selain hasil evaluasi juga diperlukan informasi lain yang akan dipergunakan untuk pembuatan keputusan selanjutnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program di masa mendatang. Demikian aktifitas tersebut terus menerus dilakukan sehingga merupakan suatu proses peningkatan mutu yang berkelanjutan.


Bab III
Penutup

3.1 Kesimpulan
Beragamnya kondisi lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan siswa di dalam proses pembelajaran ditambah lagi dengan kondisi geografi Indonesia yang sangat kompleks, seringkali tidak dapat diapresiasikan secara lengkap oleh birokrasi pusat. Oleh karena itu di dalam proses peningkatan mutu pendidikan perlu dicari alternatif pengelolaan sekolah. Hal ini mendorong lahirnya konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Manajemen alternatif ini memberikan kemandirian kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, tetapi masih tetap mengacu kepada kebijakan nasional. Konsekwensi dari pelaksanaan program ini adanya komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yaitu orang tua/masyarakat, guru, kepala sekolah, siswa dan staf lainnya di satu sisi dan pemerintah (Depdikbud) di sisi lainnya sebagai partner dalam mencapai tujuan peningkatan mutu.
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut sekolah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah termasuk pembiayaannya, dengan mengacu kepada skala prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan kondisi sekolah dan sumber daya yang tersedia. Dalam penyusunan program, sekolah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah. Hasil evaluasi (proses dan output) ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah di masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus menerus sebagai proses yang berkelanjutan.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi kemungkinan-kemungkian kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikan akan dapat diraih oleh kita sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepat.


Daftar Pustaka
















Makalah : Sejarah Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M, menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia. Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M. (A.Mustofa,Abdullah,1999: 23). Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.(Taufik Abdullah:1983)
Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melalui jalur
perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam, mengajarkan tulisan dan hapalan, kepandaian dalam penyembuhan dan pengajaran tentang moral.(Musrifah,2005: 20).

Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa kerajaan Islam di Aceh tidak lepas dari pengaruh penguasa kerajaan serta peran ulama dan pujangga. Aceh menjadi pusat pengkajian Islam sejak zaman Sultan Malik Az-Zahir berkuasa, dengan adanya sistem pendidikan informal berupa halaqoh. Yang pada kelanjutannya menjadi sistem pendidikan formal. Dalam konteks inilah, pemakalah akan membahas tentang pusat pengkajian Islam pada masa Kerajaan Islam dengan membatasi wilayah bahasan di daerah Aceh, dengan batasan masalah, pengertian pendidikan Islam, masuk dan berkembangnya Islam di Aceh, dan pusat pengkajian Islam pada masa tiga kerajaan besar Islam di Aceh
B. RUMUSAN MASALAH
C. MAKSUD DAN TUJUAN PENULISAN
D. METODE PENULISAN MAKALAH

BAB II
PEMBAHASAN MAKALAH
B. PEMBAHASAN

Pendidikan Islam Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.(Zakiyah Drajat, 1996: 25) Menurut pendapat ahli, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. (Hasbullah,2001: 4)
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. (Ngalim Purwanto, 1995:11). HM. Arifin menyatakan, pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia.(HM.Arifin, 2003: 22)
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU Sisdiknas No. 20, 2003)
Pendidikan memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan warga masyarakat sedini mungkin menggali, memahami, dan mengamalkan semua nilai yang disepa kati sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Islam menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis. (Zakiah Drajat,1996: 25)
Dengan demikian, pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN












MAKALAH ILMU PENDIDIKAN (PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH)

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pendidikan luar sekolah sebenarnya bukanlah barang baru dalam khasanah budaya dan peradaban manusia. Pendidikan luar sekolah telah hidup dan menyatu di dalam kehidupan setiap masyarakat jauh sebelum muncul dan memasyarakatnya sistem persekolahan. PLS mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada di pendidikan persekolahan. PLS timbul dari konsep pendidikan seumur hidup dimana kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahan/pendidikan formal saja. PLS pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu.
Berbagai kelemahan sistem persekolahan dimuntahkan, terutama pada aspek-aspek prosedural yang dinilai mengeras, kaku, serba ketat dan formalistis. Pada intinya, walaupun sistem persekolahan masih tetap dipandang penting, pijakan pemikiran sudah mulai realistis yaitu tidak semata-mata mengandalkan sistem persekolahan untuk melayani aneka ragam kebutuhan pendidikan yang kian hari semakin mekar dan beragam. Pembinaan dan pengembangan PLS dipandang relevan untuk bisa saling isi-mengisi atau topang menopang dengan sistem persekolahan, agar setiap insan bisa menyesuaikan hidupnya sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang pendidikan luar sekolah yang kita kenal dengan pendidikan informal atau nonformal.

2. Batasan masalah
Agar penulisan makalah ini pembahasannya tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah dan tujuan pembuatan makalah maka dengan ini penulis membatasi masalah hanya pada ruang lingkup sebagai berikut:
1. Definisi pendidikan luar sekolah (PLS)
2. Dasar pendidikan luar sekolah (PLS)
3. Persamaan dan perbedaan PLS dengan pendidikan sekolah
4. Sasaran pendidikan luar sekolah (PLS)

3. Metode Pembahasan
Dalam hal ini penulis menggunakan:
1. Metode deskritif, sebagaimana ditunjukan oleh namanya, pembahasan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih (Atherton dan Klemmack: 1982).
2. Penelitian kepustakaan, yaitu Penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan, mengumpulkan data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang diteliti.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pendididkan Luar sekolah

1. Definisi pendidikan luar sekolah (PLS)
Komunikasi Pembaruan Nasional Pendidikan
Pendidikan luar sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya.
PHILLIPS H. COMBS, mengungkapkan bahwa pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan di luar sistem formal, baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada sasaran didik tertentu dalam rangka mencapai tujuan-tujuan belajar.

2. Dasar pendidikan luar sekolah (PLS)
Sejarah terbentuknya pendidikan luar sekolah (PLS)
Alasan terselenggaranya PLS dari segi kesejarahan, tidak bisa lepas dari lima aspek yaitu:
• Aspek pelestarian budaya
Pendidikan yang pertama dan utama adalah pendidikan yang terjadi dan berlangsung di lingkungan keluarga dimana (melalui berbagai perintah, tindakan dan perkataan) ayah dan ibunya bertindak sebagai pendidik. Dengan demikian pendidikan luar sekolah pada permulaan kehadirannya sangat dipengaruhi oleh pendidikan atau kegiatan yang berlangsung di dalam keluarga. Di dalam keluarga terjadi interaksi antara orang tua dengan anak, atau antar anak dengan anak. Pola-pola transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai dan kebiasaan melalui asuhan, suruhan, larangan dan pembimbingan. Pada dasarnya semua bentuk kegiatan ini menjadi akar untuk tumbuhnya perbuatan mendidik. Semua bentuk kegiatan yang berlangsung di lingkungan keluarga dilakukan untuk melestarikan dan mewariskan kebudayaan secara turun temurun. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan praktis di masyarakat dan untuk meneruskan warisan budaya yang meliputi kemampuan, cara kerja dan Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Jadi dalam keluarga pun sebenarnya telah terjadi proses-proses pendidikan, walaupun sistem yang berlaku berbeda dengan sistem pendidikan sekolah. Kegiatan belajar-membelajarkan yang asli inilah yang termasuk ke dalam kategori pendidikan tradisional yang kemudian menjadi pendidikan luar sekolah.
• Aspek teoritis
Salah satu dasar pijakan teoritis keberadaan PLS adalah teori yang diketengahkan Philip H. Cooms (1973:10), tidak satupun lembaga pendidikan: formal, informal maupun nonformal yang mampu secara sendiri-sendiri memenuhi semua kebutuhan belajar minimum yang esensial. Atas dasar teori di atas dapat dikemukakan bahwa, keberadaan pendidikan tidak hanya penting bagi segelintir masyarakat tapi mutlak diperlukan keberadaannya bagi masyarakat lemah (yang tidak mampu memasukan anak-anaknya ke lembaga pendidikan sekolah) dalam upaya pemerataan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas hasil belajar dan mencapai tujuan pembelajaran yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Uraian di atas cukup untuk dijadikan gambaran bahwa PLS merupakan lembaga pendidikan yang berorientasi kepada bagaimana menempatkan kedudukan, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki kemauan, harapan, cita-cita dan akal pikiran.
• Dasar pijakan
Ada tiga dasar pijakan bagi PLS sehingga memperoleh legitimasi dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yaitu: UUD 1945, Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 dan peraturan pemerintah RI No.73 tahun1991tentang pendidikan luar sekolah. Melalui ketiga dasar di atas dapat dikemukakan bahwa, PLS adalah kumpulan individu yang menghimpun dari dalam kelompok dan memiliki ikatan satu sama lain untuk mengikuti program pendidikan yang diselenggarkan di luar sekolah dalam rangka mencapai tujuan belajar. Adapun bentuk-bentuk satuan PLS., sebagaimana diundangkan di dalam UUSPN tahun 1989 pasal 9:3 meliputi: pendidikan keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan sejenis. Satuan PLS sejenis dapat dibentuk kelompok bermain, penitipan anak, padepokan persilatan dan pondok pesantren tradisional.
• Aspek kebutuhan terhadap pendidikan
Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan tidak hanya pada masyarakat daerah perkotaan, melainkan masyarakat daerah pedesaan juga semakin meluas. Kesadaran ini timbul terutama karena perkembangan ekonomi, kemajuan iptek dan perkembangan politik. Kesadaran juga tumbuh pada seseorang yang merasa tertekan akibat kebodohan, keterbelakangan atau kekalahan dari kompetisi pergaulan dunia yang menghendaki suatu keterampilan dan keahlian tertentu. Atas dasar kesadaran dan kebutuhan inilah sehingga terwujudlah bentuk-bentuk kegiatan kependidikan baik yang bersifat persekolahan ataupun di luar persekolahan.
• Keterbatasan lembaga pendidikan sekolah
Lembaga pendidikan sekolah yang jumlahnya semakin banyak bersifat formal atau resmi yang dibatasi oleh ruang dan waktu serta kurikulum yang baku dan kaku serta berbagai keterbatasan lainnya. Sehingga tidak semua lembaga pendidikan sekolah yang ada di daerah terpencilpun yang mampu memenuhi semua harapan masyarakat setempat, apalagi memenuhi semua harapan masyarakat daerah lain. Akibat dari kekurangan atau keterbatasan itulah yang memungkinkan suatu kegiatan kependidikan yang bersifat informal atau nonformal diselenggarakan, sehingga melalui kedua bentuk pendidikan itu kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
Perkembangan pendidikan luar sekolah (PLS)
Dibagi dalam tiga periode:
1. Periode Pra kemerdekaan
2. Periode Revolusi
3. Periode Orde Baru

Sistem pendidikan luar sekolah (PLS)
PLS adalah sub sistem pendidikan nasional, yaitu suatu sistem yang memiliki tujuan jangka pendek dan tujuan khusus yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi masa sekarang dan masa depan. Komponen atau sub sistem yang ada pada sistem PLS adalah masukan saran (instrumen input), masukan mentah (raw input), masukan lingkungan (environmental input), proses (process), keluaran (out put) dan masukan lain (other input) dan Pengaruh (impact).
Program pendidikan luar sekolah (PLS)
Jenis-jenis pendidikan yang ada pada PLS, menurut D. Sudjana (1996:44) di antaranya adalah:
1. Pendidikan Massa (Mass education)
Pendidikan massa yaitu kesempatan pendidikan yang diberikan kepada masyarakat luas dengan tujuan yaitu membantu masyarakat agar mereka memiliki kecakapan dalam hal menulis, membaca dan berhitung serta berpengetahuan umum yang diperlukan dalam upaya peningkatan taraf hidup dan kehidupannya sebagai warga negara. Istilah Mass education menunjukan pada aktifitas pendidikan di masyarakat yang sasarannya kepada individu-individu yang mengalami keterlantaran pendidikan, yaitu individu yang tidak berkesempatan memperoleh pendidikan melalui jalur sekolah, tetapi putus di tengah jalan dan belum sempat terbebas dari kebuta-hurufan. Mass education ini dapat dikatakan semacam program pemberantasan buta huruf atau program keaksaraan, tentu saja tidak bertujuan supaya orang-orang didiknya sekedar bisa baca-tulis, tetapi juga supaya memperoleh pengetahuan umum yang relevan bagi keperluan hidupnya sehari-hari. Individu yang menjadi sasarannya adalah pemuda-pemuda dan orang dewasa. Pelaksanaannya melalui kursus-kursus.
2. Pendidikan Orang Dewasa (Adult Education)
Pendidikan orang dewasa yaitu pendidikan yang disajikan untuk membelajarkan orang dewasa. Dalam salah satu bukunya tentang PLS, Sudjana (1996:45) menerangkan bahwa pendidikan orang dewasa adalah pendidikan yang diperuntukan bagi orang-orang dewasa dalam lingkukangan masyarakatnya, agar mereka dapat mengembangkan kemampuan, memperkaya pengetahuan, meningkatkan kualifikasi teknik dan profesi yang telah dimilikinya, memperoleh cara-cara baru serta merubah sikap dan perilakunya.
3. Pendidikan Perluasan (Extension Education)
Kegiatan yang diselenggarakan PLS adalah meliputi seluruh kegiatan pendidikan baik yang dilaksanakan di luar sistem pendidikan sekolah yang dilembagakan ataupun yang tidak dilembagakan.

3. Ciri-ciri pendidikan luar sekolah (PLS)
1. Beberapa bentuk pendidikan luar sekolah yang berbeda ditandai untuk mencapai bermacam-macam tujuan.
2. Keterbatasan adalah suatu perlombaan antara beberapa PLS yang dipandang sebagai pendidikan formal dari PLS sebagai pelengkap bentuk-bentuk pendidikan formal.
3. Tanggung jawab penyelenggaraan lembaga pendidikan luar sekolah dibagi oleh pengawasan umum/masyarakat, pengawasan pribadi atau kombinasi keduanya.
4. Beberapa lembaga pendidikan luar sekolah di disiplinkan secara ketat terhadap waktu pengajaran, Teknologi modern, kelengkapan dan buku-buku bacaan.
5. Metode pengajaran juga bermacam-macam dari tatap muka atau guru dan kelompok-kelompok belajar sampai penggunaan audio televisi, unit latihan keliling, demonstrasi, kursus-kursus korespondensi, alat-alat bantu visual.
6. Penekanan pada penyebaran program teori dan praktek secara relative dari pada PLS.
7. Tidak seperti pendidikan formal, tingkat sistem PLS terbatas yang diberikan kredensial.
8. Guru-guru mungkin dilatih secara khusus untuk tugas tertentu atau hanya mempunyai kualifikasi professional dimana tidak termasuk identitas guru.
9. Pencatatan tentang pemasukan murid, guru dan kredensial pimpinan, kesuksesan latihan, membawa akibat peningkatan produksi ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan pendapatan peserta.
10. Pemantapan bentuk PLS mempunyai dampak pada produksi ekonomi dan perubahan sosial dalam waktu singkat dari pada kasus pendidikan formal sekolah.
11. Sebagian besar program PLS dilaksanakan oleh remaja dan orang-orang dewasa secara terbatas pada kehidupan dan pekerjaan.
12. Karena secara digunakan, PLS membuat lengkapnya pembangunan nasional. Peranannya mencakup pengetahuan, keterampilan dan pengaruh pada nilai-nilai program.
13. Diselengarakan dengan tidak berjenjang, tidak berkesinambungan dan dilaksanakan dalam waktu singkat.
14. Karena sifatnya itu sehingga tujuan, metode pembelajaran dan materi yang disampaikan selalu berbeda di masing-masing penyelenggara PLS.

4. Persamaan dan perbedaan pendidikan luar sekolah (PLS)
1. Persamaan
Persamaan antara PLS dengan pendidikan persekolahan dapat diperhatikan dari dua sudut pandang yaitu sudut pandangan masyarakat dan sudut pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewaris atau pemindahan nilai-nilai intelek, seni, politik, ekonomi, agama dan lain sebagainya; Sedangkan dari segi pandangan individual, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi manusia (Hasan Langglung, 1980). Persamaan lainnya yaitu fungsi pendidikan adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, Teknologi dan keterampilan bahwa menyiapkan suatu generasi agar memiliki dan memainkan peranan tertentu dalam masyarakat.
Proses pendidikan selalu melibatkan masyarakat dan semua perangkat kebudayaan sesuai dengan nilai dan falsafah yang dianutnya.
2. Perbedaan Antara Pendidikan Sekolah Dan Luar Sekolah
Secara prinsip, satu-satunya perbedaan antara pendidikan luar sekolah dengan pendidikan sekolah adalah legitimasi atau formalisasi penyelenggaraan pendidikan. Tentang perbedaan penyelenggaraan ini, secara institusional, tercantum pada Undang-Undang RI nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 10:2-3. selanjutnya, perbedaan secara operasional, Umberto Sihombing melalui bukunya Pendidikan Luar Sekolah: Manajemen Strategi (2000:40-46) menuliskan secara khusuS dan sistematis tentang perbedaan antara Pendidikan Luar Sekolah dengan Pendidikan Sekolah.
Pendidikan luar sekolah (PLS) sangat berbeda dengan pendidikan sekolah, khususnya jika dilihat dari sepuluh unsur di bawah (lihat tabel).

NO INDIKATOR PERBEDAAN
PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH PENDIDIKAN SEKOLAH
1. Warga belajar  Rentang usia warga belajar heterogen (10-44 tahun)
 Latar Belakang pendidikan warga belajar heterogen
 Motivasi belajar karena kebutuhan mendesak
 Warga belajar dapat berfungsi sebagai sumber belajar
 Warga belajar lebih Mandiri dalam memilih program yang dibutuhkan
 Penerapan warga belajar berdasarkan sasaran
 Ada yang sudah bekerja baru ikut belajar  Rentang usia setiap jenjang lebih homogen
 Latar Belakang pendidikan lebih homogen
 Motivasi belajar untuk prestasi jangka panjang
 Siswa bertindak sebagai anak didik
 Siswa tidak dapat memilih program sesuai kebutuhannya
 Penerapan siswa berdasarkan nilai yang diperoleh
 Selesai sampai jenjang tertentu baru mencari pekerjaan
2. Tutor / sumber belajar  Biasanya disebut tutor
 Pemilihan tutor lebih ditekankan pada segi keterampilan yang dimilikinya
 Bersifat terbuka (siapapun dapat menjadi tutor)
 Bertindak sebagai fasilitator
 Tidak ada perjenjangan karir
 Tidak digaji pemerintah  Disebut guru
 Ditekankan pada kemampuan akademis
 Bersifat tertutup (latar Belakang akademik)
 Bersifat sebagai nara sumber utama
 Ada jenjang karir
 Digaji pemerintah / swasta
3. Pamong belajar / penyelenggara  Lebih bersifat sukarela / nobenefit (kecuali untuk program khusus)
 Perseorangan, LSM atau instansi
 Bertindak sebagai fasilitator  Mendapat gaji
 Diselenggarkan oleh pemerintah atau lembaga / yayasan berbadan hukum
 Bertindak sebagai pengelola
4. Sarana belajar  Sarana belajar berbentuk variatif (modul, leaflet, booklet, poster, dsb) sesuai dengan kebutuhan belajar
 Materi bahan belajar dikembangkan sesuai program yang dikembangkan
 Sarana belajar/learning kit sangat variatif
 Bahan belajar dapat disusun oleh siapa saja (termasuk warga belajar itu sendiri)
 Memanfaatkan sarana belajar yang ada
 Pengalaman warga belajar dimanfaatkan untuk bahan belajar  Sarana / learning kit yang dibutuhkan sudah baku
 Materi bahan belajar homogen (berdasarkan kurikulum nasional)
 Jenis bahan belajar kurang variatif (bentuk buku atau modul)
 Bahan belajar disusun oleh para ahli
 Sering berubah-ubah
 Kurang mengakomodasi pengalaman siswa / peserta didik
5. Tempat Belajar  Memanfaatkan bangunan prasarana yang ada
 Mengoptimalkan sarana yang tersedia  Dilakukan di gedung sekolah sendiri
 Mengadakan sarana yang dibutuhkan (Sengaja diadakan untuk mendukung proses belajar)
6. Dana  Swadaya masyarakat/ warga belajar
 Bantuan pemerintah, LSM, badan swasta lainnya
 Pengelolaan dana bersifat terbuka  Swadaya
 Bantuan pemerintah
 Dibebankan pada negara
 Pengelolaan dana tertutup
7. Ragi belajar  Pemberian ragi belajar disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar  Pemberian ragi belajar dalam bentuk Ijazah
8. Kelompok belajar  Jumlah kelompok 10-20 orang
 Pembentukan kelompok berdasarkan minat yang sama (melibatkan warga belajar)
 Ikatan kelompok bersifat informal  Jumlah kelompok bisanya 30 lebih
 Pembentukan kelas ditentukan oleh penyelenggara
 Ikatan kelompok bersifat formal
9. Program belajar  Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan pasar
 Kurikulum lebih menekankan kemampuan praktis
 Memungkinkan perubahan kurikulum lebih fleksibel sesuai dengan perubahan keadaan tempat.
 Program belajar boleh tidak berjenjang
 Persyaratan keikutsertaan program belajar relatif terbuka (usia latar Belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dsb)
 Program dikembangkan untuk mengatasi masalah riil yang dirasakan mendesak/ jangka pendek
 Penyusunan program melibatkan masyarakat secara partisipatif
 Proses pembelajaran secara kelompok dan mandiri
 Pelaksanaan / waktu belajar fleksibel sesuai kesepakatan
 Penyelesaian program relative singkat
 Memberdayakan potensi sumber setempat
 Sistem evaluasi tidak baku (kecuali program pake A pake B and Kursus)  Kurikulum disusun di pusat (sentralisasi)
 Lebih menekankan kemampuan teoretis akademis
 Kurikulum lebih bersifat baku (sulit berubah) kurang dinamis tidak adaftif dengan perkembangan
 Perjenjangan bersifat baku
 Persyaratan keikutsertaan program bersifat baku dan berlaku menyeluruh (secara nasional)
 Program dikembangkan untuk menyiapkan peserta untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
 Program disusun sepenuhnya oleh pemerintah, masyarakat bersifat pasif / pengguna
 Pembelajaran dilakukan secara klasikal
 Waktu belajar sudah pasti
 Penyelesaian program lama
 Penekanan pada penguasaan pengetahuan akademis
 Mengabaikan nara sumber / potensi sekitar
 Sistem evaluasi baku
10. Hasil belajar  Hasil belajar dapat dijadikan bekal untuk bermatapencaharian
 Hasil belajar berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat
 Dapat diterapkan sehari-hari
 Tak mengutamakan ijazah  Berpotensi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi
 Hasil belajar untuk jenjang karir di masa datang
 Hasil belajar tidak dapat langsung diterapkan dalam dunia nyata
 Ijazah merupakan hasil akhir
5. Sasaran pendidikan luar sekolah
Dibagi 2 sasaran pokok:
1. Pendidikan luar sekolah untuk pemuda
1. Sebab-sebab timbulnya:
1. Banyak anak-anak usia sekolah tidak memperoleh pendidikan sekolah yang cukup, lebih-lebih di negara yang berkembang
2. Mereka memperoleh pendidikan yang tradisional
3. Mereka memperoleh latihan kecakapan khusus melalui pola-pola pergaulan
4. Mereka dituntut mempelajari norma-norma dan tanggung jawab sebagai sangsi dari masyarakatnya
1. Kelompok-kelompok kegiatan pendidikan Luar Sekolah antara lain:
1. Klub pemuda
2. Klub-Klub pemuda tani
3. Kelompok pergaulan
2. Pendidikan luar sekolah untuk orang dewasa
 Pendidikan ini timbul oleh karena:
1. Orang-orang dewasa tertarik terhadap profesi kerja.
2. Orang dewasa tertarik terhadap keahlian.
 Dalam rangka memperoleh pendidikan di atas dapat ditempuh melalui:
1. Kursus-kursus pendek.
2. In service-training.
3. Surat-menyurat.
Lebih lanjut, sesuai dengan Rancangan Peraturan Pemerintah maka sasaran PLS dapat meliputi:
1. Ditinjau dari segi sasaran pelayanan, berupa:
1. Usia pra-sekolah (0-6 tahun)
2. Usia pendidikan dasar (7-12 tahun)
3. Usia pendidikan menengah (13-18 tahun)
4. Usia pendidikan tinggi (19-24 tahun)
2. Ditinjau dari jenis kelamin
Program ini secara tegas diarahkan pada kaum wanita oleh karena jumlah mereka yang besar dan partisifasinya kurang dalam rangka produktifitas dan efesiensi kerja.
3. Berdasarkan lingkungan sosial budaya
1. Masyarakat pedesaan.
2. Masyarakat perkotaan.
3. Masyarakat terpencil.
4. Berdasarkan kekhususan sasaran Pelajaran
1. Peserta didik yang dapat digolongkan terlantar, seperti anak yatim piatu.
2. Peserta didik yang mengalami pengembangan sosial dan emosional seperti anak nakal, korban narkotika dan wanita tuna susila.
3. Peserta yang mengalami cacat mental dan cacat tubuh seperti tuna netra, tuna rungu, tuna mental.
4. Peserta didik yang karena berbagai sebab sosial, tidak dapat mengikuti program pendidikan persekolahan.
5. Berdasarkan pranata
1. Pendidikan keluarga.
2. Pendidikan perluasan wawasan.
3. Pendidikan keterampilan.
6. Berdasarkan sistem pengajaran
1. Kelompok, organisasi, dan lembaga.
2. Mekanisme sosial budaya seperti perlombaan dan pertandingan.
3. Kesenian tradisional, seperti wayang, ludruk, ataupun teknologi modern seperti televisi, radio, film, dan sebagainya.
4. Prasarana dan sarana seperti balai desa, mesjid, gereja, sekolah dan alat-alat perlengkapan kerja.
7. Berdasarkan segi pelembagaan program
1. Program antar sektoral dan swadaya masyarakat seperti PKK, PKN dan P2WKSS.
2. Koordinasi perencanaan desa atau pelaksanaan program pembangunan.
3. Tenaga pengarahan di tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Pendidikan luar sekolah mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada di pendidikan sekolah. Pendidikan luar sekolah timbul dari konsep pendidikan seumur hidup dimana kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahan/pendidikan formal saja.
Pendidikan luar sekolah pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu. Pembinaan dan pengembangan PLS dipandang relevan untuk bisa saling mengisi atau topang menopang dengan sistem persekolahan. Agar setiap lulusan bisa hidup mengikuti perkembangan zaman dan selalu dibutuhkan oleh masyarakat seiring dengan perkembangan IPTEK yang semakin maju.

2. Saran
Di samping kita mengikuti jenjang pendidikan formal alangkah baiknya dilengkapi dengan mengikuti pendidikan luar sekolah seperti kursus-kursus, dll. Agar kekurangan/kelemahan yang ada pada pendidikan formal bisa tertutupi dengan pendidikan luar sekolah sehingga diharapkan setiap lulusan bisa hidup mengikuti perkembangan zaman dan selalu dibutuhkan oleh masyarakat seiring dengan perkembangan/kemajuan IPTEK.






TUJUAN DAN SASARAN PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular.
Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.
Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan mendeskripsikan tujuan dan sasaran pedidikan dalam Islam secara induktif dengan melihat dalil-dalil naqli yang sudah ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, juga memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat secara umum dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan dan sasaran pendidikan dalam Islam dapat diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian.
BAB II
PEMBAHASAN MAKALAH

A. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam
Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan banyak tertuang dalam ayat-ayat al Qur’an dan hadits nabi. Dalam hal ini akan dikemukakan ayat ayat atau hadits hadits yang dapat mewakili dan mengandung ide tentang prinsip prinsip dasar tersebut, dengan asumsi dasar, seperti dikatakan an Nahlawi bahwa pendidikan sejati atau maha pendidikan itu adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan kelebihan serta menetapkan hukum hukum pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya, sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya. Prinsip prinsip tersebut adalah sebagai berikut:[1]
Pertama, Prinsip Integrasi. Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan. Allah Swt Berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kanu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi...” (QS. Al Qoshosh: 77). Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.
Kedua, Prinsip Keseimbangan. Karena ada prinsip integrasi, prinsip keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan. Keseimbangan antara material dan spiritual, unsur jasmani dan rohani. Pada banyak ayat al-Qur’an Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan. Tidak kurang dari enam puluh tujuh ayat yang menyebutkan iman dan amal secara besamaan, secara implisit menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS. Al ‘Ashr: 1-3, “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh.” .
Ketiga, Prinsip Persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan. Nabi Muhammad Saw bersabda
“Siapapun di antara seorang laki laki yang mempunyai seorang budak perempuan, lalu diajar dan didiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki laki) itu mendapat dua pahala” (HR. Bukhori).

Keempat, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup. Sesungguhnya prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskandirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, disamping selalu memperbaiki kualitas dirinya. Sebagaimana firman Allah, “Maka siapa yang bertaubat sesuadah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya) maka Allah menerima taubatnya....” (QS. Al Maidah: 39).
Kelima, Prinsip Keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang mempunyai ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai nilai moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik tersebut. Nabi Saw bersabda, “Hargailah anak anakmu dan baikkanlah budi pekerti mereka,” (HR. Nasa’i).

B. Mekanisme Pendidikan Islam
Mengenai mekanisme dalam menjalankan pendidikan Islam Dalam karyanya Tahdzibul Akhlak, Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa syariat agama memiliki peran penting dalam meluruskan akhlak remaja, yang membiasakan mereka untuk melakukan perbuatan yang baik, sekaligus mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan dan mencapai kebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang akurat. Orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik mereka agar mentaati syariat ini, agar berbuat baik. Hal ini dapat dijalankan melalui al-mau’izhah (nasehat), al- dharb (dipukul) kalau perlu, al-taubikh (dihardik), diberi janji yang menyenangkan atau tahdzir (diancam) dengan al-‘uqubah (hukuman).[2] (konsep uqubah dalam Islam)
Akan tetapi, Berbeda dengan beberapa pandangan teori di atas, Ibnu Khaldun justru berpandangan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa kekerasan dalam bentuk apapun seharusnya tidak dilakukan dalam dunia pendidikan. Karena dalam pandangan Ibnu Khaldun, penggunaan kekerasan dalam pengajaran dapat membahayakan anak didik, apalagi pada anak kecil, kekerasan merupakan bagian dari sifat-sifat buruk. Disamping itu, Ia juga menambahkan bahwa perbuatan yang lahir dari hukuman tidak murni berasal dari keinginan dan kesadaran anak didik. Itu artinya pendidikan dengan metode ini juga sekaligus akan membiasakan seseorang untuk berbohong dikarenakan takut dengan hukuman.[3]

C. Tujuan dan Sasaran Pendidikan Islam
Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek tujuan. Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.[4]
Maka dari itu berdasarkan definisinya, Rupert C. Lodge dalam philosophy of education menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Sehingga dengan kata lain, kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu. Sedangkan Joe Pack merumuskan pendidikan sebagai “the art or process of imparting or acquiring knomledge and habit through instructional as study”. Dalam definisi ini tekanan kegiatan pendidikan diletakkan pada pengajaran (instruction), sedangkan segi kepribadian yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan. Theodore Meyer Greene mengajukan definisi pendidikan yang sangat umum. Menurutnya pendidikan adalah usaha manusia untuk menyiapkan dirinya untuk suatu kehidupan yang bermakna. Alfred North Whitehead menyusun definisi pendidikan yang menekankan segi ketrampilan menggunakan pengetahuan.[5]
Untuk itu, pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian dihubungkan dengan Islam -sebagai suatu sistem keagamaan- menimbulkan pengertian pengertian baru yang secara implisit menjelaskan karakteristik karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya, dalam konteks Islam inheren salam konotasi istilah “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah istilah itu sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; informal, formal, dan nonformal.[6]
Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa. Dengan ini pula keutamaan itu akan merata dalam masyarakat.[7]
Hujair AH. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan misi yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, sebenarnya konsep dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan dunia yang yang makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis.[8]
Munzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau keinginan-keinginan lainnya. Bila dilihat dari ayat-ayat al Qur’an ataupun hadits yang mengisyaratkan tujuan hidup manusia yang sekaligus menjadi tujuan pendidikan, terdapat beberapa macam tujuan, termasuk tujuan yang bersifat teleologik itu sebagai berbau mistik dan takhayul dapat dipahami karena mereka menganut konsep konsep ontologi positivistik yang mendasar kebenaran hanya kepada empiris sensual, yakni sesuatu yang teramati dan terukur.[9]
Qodri Azizy menyebutkan batasan tentang definisi pendidikan agama Islam dalam dua hal, yaitu; a) mendidik peserta didik untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam; b) mendidik peserta didik untuk mempelajari materi ajaran Islam. Sehingga pengertian pendidikan agama Islam merupakan usaha secara sadar dalam memberikan bimbingan kepada anak didik untuk berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan memberikan pelajaran dengan materi-materi tentang pengetahuan Islam.[10]
BAB III
PENUTUP
C. Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang telah penulis kemukakan dari beberapa pendapat para tokoh pendidikian Islam bahwa pendidikan pada dasarnya memiliki beberapa tujuan. Tujuan yang terpenting adalah pembentukan akhlak objek didikan sehingga semua tujuan pendidikan dapat dicapai dengan landasan moral dan etika Islam, yang tentunya memiliki tujuan kemashlahatan di dalam mencapai tujuan tersebut. Mengenai mekanisme pelaksanaanya, hal ini tentunya memerlukan kajian yang lebih mendalam sehingga nantinya implementasi dari teori tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dipandang relevan dengan kondisi yang terikat dengan faktor-faktor tertentu.
ILMU PENDIDIKAN ISLAM
MELACAK AKAR PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM : SEBUAH






BAB I
PENDAHULUAN

1. Dasar Pemikiran

Manusia merupakan makhluk allah swt. yang sempurna sesuai dengan tugas fungsi dan tujuan penciptaannya sebagai khalifah filard dan terbaik bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. kelebihan manusia bukan hanya sekedar berbeda susunan fisik, tapi juga lebih jauh adalah kelebihan aspek psikisnya dengan totalitas potensinya masing-masing yang sangat mendukung bagi proses aktualitas diri pada posisinya sebagai makhluk mulia. integritas kedua unsur tersebut abersifat aktif dan dinamis sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman di mana manusia berada. dengan potensinya material dan spiritual tersebut, menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaan allah swt. yang terbaik.secara sistematis pada proposisinya penge tahuan yang mencerminkan pengembangan totalitas kepribadian manusia secara utuh. untuk mengoptimalisasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik maka, pendidikan harus mampu mengarahkan peserta didik pada pengembangan diri secara totalitas. islam dengan ajaran yang universal tidak menghendaki adanya sistem pendidikan yang dikotomik parsial dalam menempatklan peserta didik baik teoritis maupun praktis peserta didik manawarkan sistem pensisikan yang integral dan mengempatkan sesuai dengan tuntutan yang digariskan oleh Allah SWT.




BAB II
PEMBAHASAN MAKALAH

1. PENGERTIAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Secara etimologi pemikiran berasal dari kata dasar pikir, berarti proses, cara atau perbuatan memikir yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. Dalam konteks ini pemikiran dapat diartikan sebagai upaya cerdas (ijtihady) dari proses kerja akal dan kalbu untukmelihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaiannya secara bijaksana sedangkan pendidikan, secara umum berarti suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang (peserta didik) dalam usaha mendewasakan manusia (peserta didik),melalui upaya pengajaran dan latihan. Serta proses perbuatan dan cara-cara mendidik. Dengan berpijak pada definisi diatas. maka yang dimaksud dengan pemikiran pendidikan islam adalah proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan islam dan berupaya untuk membangun sebuah peradaban pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna.
2. TUJUAN DAN KEGUNAAN MEMPELAJARI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Secara khusus pemikiran pendidikan islam memiliki tujuan sangat komplek diantaranya adalah :
Untuk membangun kebiasaan berpikir ilmiah, dinamis dan kritis terhadap persoalan-persoalan di seputar pendidikan islam.
Untuk memberikan dasar berfikir inklusif terhadap ajaran islam dan akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh intelektual diluar islam.
Untuk menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana yang ditujukan oleh Rosulullah dan para kaum intelektual muslim pada abad pertama sampai abad pertengahan, terutama dalam merekonstruksi sistem pendidikan islam yang lebih baik.
Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan sistem pendidikan nasional.

3. SEKILAS SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

Sejarah pendidikan sama usianya dengan sejarah manusia itu sendiri. keduanya tak dapat sipisahkan antara satu dengan yang lain. Manusia tidak akan bisa berkembang secara sempurna bila tidak ada pendidikan untuk itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sksistensi pendidikan merupakan salah satu syarat yang mendasar bagi meneruskan dan mengekalkan kebidayaan manusia. Disini, fungsi pendidikan berupaya menyesuaikan kebudayaan lama dengan kebudayaan lama dengan kebudayaan baru secara proporsional dan dinamis. Wacana pemikiran pendidikan islam masa nabi sudah tentu tidak sesistematis dan secanggih yang ada sekarang ini. Meskipun demikian perhatian umat terhadap ilmu pengetahuan jelas sangat tinggi dan hal ini terwujud sesuai dengan kemungkinan kondisi sosial waktu itu. Ketika di makkah, proses pendidikan islam dilakukan Nabi dan para pengikutnya di dar al-arqam, sebagai pusat pendidikan dan dakwah. setidaknya ada empat alasan pentingnya pelacakan pendidikan dan sesudahnya, yaitu : pertama, dalam tatanan kehidupan masyarakat yang dinamis, ada upaya pewarisan nilai kebudayaan antara generasi tua kepada generasi muda.bahkan pendidikan seringkali dijadikan tolak ukur layak atau tidaknya manusia menduduki dan melaksanakan amanat Allah sebagai khalifah fi al-ardh. sebagaimana firman Allah SWT.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang memiliki ilmu beberapa deraja”t. (Q.S. 28 : 11)
Munculnya dinamika penbaruan pemikiran pendidikan yang dilakukan sejumlah intelektual muslim dari masa ke masa, tidak terlepas dari kondisi objektif sosial-budaya dan sosial keagamaan umat islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa dinamika pemikiran intelektual muslim merupakan hasil refleksi terhadap kondisi umat islam pada zamannya. Sederetan intelektual muslim, sejak masa awal sampai pada era posmodernisme telah berupaya merekonstruksi guna terciptanya sistem pendidikan islam yang ideal. kelompok intelektual muslim tersebut antara lain adalah :
Ibnu Maskawih (Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub ibn Miskawih), lahir di rayy sekitar tahun 320 H./ 432 M. dan meninggal di isfaham pada tanggal 9 safar buwaihi yang berlatarbelakang mazhab syi’ah. Perhatiannya dalam menuntut ilmu sangat besar. Hal ini tercermin dari bidang ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Dalam bidang sejarah umpamanya, ia belajar dengan Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-qadhi, filsafat dengan ibn al-khammar, dan kimia dengan Abu Thayyib. Pemikirannya tentang pendidikan lebih berorientasi pada pentingnya pendidikan akhlak. hal ini tercermin dari karya monumentalnya, Tahzib al-akhlaq. melalui karya tersebut Miaskawih menyetakan bahwa tujuan endidikan adalah terwujudnya sikap batin yang secara spontan mampu mendorong lahirnya perilaku dalam memperoleh kerimah-perilaku yang demikian akan sangat membantu peserta didik dalam memperoleh kesempurnaan dan kebahagiaan yang sejati.

Ibn Sina (Abu Ali al-Husaiyn ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Sina) lahir pada tahun 370/ 980 di asyanah, Bukhara (dalam peta modern masuknya Turkistan) ia wafat oleh penyakit disentri pada tahun 428/ 1037 dan dimakamkan di Hamadan (sekarang dalam wilayah Iran). Hasil pemikiran dari Ibn Sina diantaranya :
Falsafah wujud
Falsafah Faidh
Falsafah Jiwa

Ibn Khaldum (Waliuddin Abdurrahman bin Muhamad bin Muhammad bin Hasan bin Jobir bin Muhammad binIbrahin bin Abdurrahman bin Walid bin Usman) lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo 25 Ramadhan 808 H/ 19 Maret 406 M.
Diantara stressing ruint pemikiran Khaldum adalah pada bidang pendidikan islam dalam melaksanakan pendidikan, maka menurut Khaldum paling tidak ada dua tujuan yang perlu disentuh yaitu jasmaniah dan rohaniah.
Muhammad Abdus ibn hasan Khairuddin, lahir pada tahun 1265 H/ 1849 M. Pada sebuah desa dipropinsi Gharbuyyah-ia lahir dari lingkungan petani sederhana yang taat dan sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Menurut Abduh metode yang kuno sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dewasa ini, sebab metode tersebut menurut tumbuhnya daya peserta didik dalam bukunya al- a’mal al-kamila Abduh menawarkan metode pendidikan yang lebih dinamis dan kondusif bagi pengembangan intelektual peserta didik. Metode yang di maksud adalah metode diskusi.
Ismail raji al faruqi, lahir di Sayfa (palestina) pada tanggal 1 Januari 1921. Ia meninggal pada tanggal 1986. latar belakang pendidikannya ditempuh pada pendidikan barat yaitu Colege Des Peres (1936). Kemudian pendidikan pasca sarjana mudanya ia rampungkan pada America University (1941). Kemuudian program magisternya pada Indian University dan harvard University dalam bidang filsafat. sedangkan gelar doktor ia peroleh pada indian university dalam bidang yang sama.
Menurut analisis al-faruq umat islam saat ini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan lemah, baik secara moral, politik, dan ekonomi terutama komunitas intelektual dalam wacana keagamaan, umat islam terbelenggu oleh Khurafal, kondisi ini membuat umat islam taqlid yang berlebihan terutama dalam aspek syariat. Kondisi ini membuat umat islam berada dalam kondisi statis dan enggan melakukan kreativitas, ijtihad.
Syed Muhammad Waquib al-attas dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Paradigma pemikiran al-attas bila diaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berasal dari dunia metafisika kemudian kedunia kosmologis dan mermuara pada dunia psikologis, perjalanan kehidupan dan pengalaman pendidikannya memberikan andil yang yang sangat besar dalam pembentukan paradigma pemikiran selanjutnya.
BAB III
MANUSIA MENURUT AL-QUR’AN
SUATU TINJAUAN TEMATIK

1. Konsep Al-Insaniah Suatu Tinjauan Quaranik

Upaya untuk menyingkap hakikat manusia secara utuh telah banyak menyita perhatian baik kalangan ilmuan filosof bahkan para agamawan sepanjang masa. Pendefinisian ini dipandang perlu untuk membantu manusia mengenal dirinya serta mampu menentukan bentuk aktivitas yang dapat mengantarkannya pada makna kebahagiaan yang sesungguhnya namun upaya tersebut gagal. Manusia hanya mampu menyingkap hakikat dirinya pada batas instrumen dan bukan pada substansi. Sulitnya mengingkap substansi manusia bahkan disadari oleh Alexis carrel. Carrel menyebut manusia sebagai makhluk misterius dan uniknya tak mampu ditelusuri secara keseluruhan. Ketidak mampuan manusia dalam menelusuri substansi dirinya secara utuh, disebabkan karena keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya, terutama dalam menyingkap hal-hal rohaniah yang bersifat abstrak. Keterbatasan ini menurut Quraish Shihab disebabkan tiga faktor, yaitu pertama dalam sejarah kehidupannya, manusia lebih tertarik melakukan penyelidikan tentang alam materi (konkrit) dibandingkan pada material yang bersifat immaterial (abstrak). Kedua keterbatasam akal manusia yang hanya mampu memikirkan hal-hal yang bersifat instrumental ketimbang hal-hal yang substansial dan kompleks. Ketiga kompleks dan uniknya masalah manusia.
2. Istilah Manusia Dalam Al-Qur’an
Setidaknya ada tiga kta yang digunakan untuk mewujudkan makna manusia yaitu Al-basar, al-insan, dan al-naf, meskiupn ketiga kata tersebutmenunjuk pada makna manusia namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat pula di uraikan sebagai berikut:
Kata al-basyar dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat, secara etimologi, al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut, penanaman ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibandingkan rambut bulunya. pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih di dominasi bulu atau rambut. Firman Allah dalam Q.S. 18 : 110)
“Katakanlah sesunguhnya aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku………. (Q.S. 18 : 110).
Dengan pemaknaan yang diperkuat umat diatas dapat dipahami bahwa seluruh manusia (Bumi adam 4-5) akan mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya. baik yang berupa sunnahtullah (sosial-kemasyarakatan) maupun takdir allah (hukum alam).
Kata al-ihsan yang berasal dari kata al-uns dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 73 kali dan tersebear dalam 43 surat. secara etimologi al-ihsan digunakan al-qura’n untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Perpaduan antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia untuk mengembangkan dimensi al-ihsan yaitu sebagai makhluk berbudaya yangmampu berbicara mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan yang mampu berbicara mengetahui baik dan buruknya, mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban dan lain sebagainya, Allah berfirman :
“Ayahnya berkata : hai anakku, janganlah kamu ceritakan impianmu itu kepada sandara-saudaramu, maka mereka membuat makan (untuk membinasakanmu) sesungguhnya syaitan itu adalahmusuh yang nyata bagi manusia:. (Q.S. 12 : 5).
Kata al-nas dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat, kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya. dalam menunjukkan makna manusia, kata al-nas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-insan. seperti dalam firman Allah’ pada Q.S. 2 : 24.
“Maka jika kamu tidak dapat membuatnya dan pasti kamu tidak akan dapat membuanya, peliharalah dirimu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir (Q.S. 2 : 24).
3. Proses dan Tujuan Penciptaan Manusia
Pada hakikatnya penciptaan manusia dapat ditujukan dari dua asala pendekatan yaitu pertama proses penciptaan manusia pasca Adam (keturunan Adam) tercipta dari Nutfah dan kemudian mengalami proses panjang dan bertahap dalam hal ini allah SWT berfirman :
“Yang membuat segala sesuatu yang dia kemudian sebaik-baiknya dan yang memulai penciptann manusia dari tanah. Kemudian dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang bina (air mani) kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam (tubuhnya) roh (ciptaan-nya) dan dia menjadikan bagi kalian pendengaran. penglihatan dan hati tetapi kalian sedikit sekali yang bersyukur (Q.S. 32 : 7-4).
Analisis leteran dari ayat diatas menunjukkan bahwa penciptaan manusia mengandung bagian atau komponen dan proses yaitu adanya penciptaan, adanya bahan (materi) cara atau metode penciptaan, transformasi dan model khusus dari hasil akhir tahapan proses kejadian manusia sebagaimana isyarat yang telah dilukiskan dalam al-qur’an dapat dilihat kepada beberapa proses antara lain : pertama, nutfah yaitu sati pati makanan yang telah berubah menjadi air mani yang masuk kedalam rahim. Hal ini dinukilkan allah dalam al-qur’an.
“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (kedalam rahim). (Q.S. 75 : 37).
“Kedua sperma dalam rahim bercampur dengan ovum (gen sel produksi wanita kemudian terjadi pembuahan sel dalam rahim yang kemudian berproses menjadi segumpal darah.” dalam ayat lain allah juga berfirman
“kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu alllah menciptakannya dan menyempurnakannya (Q.S. 75 : 38).
ketika berproses menjadi segumpal daging untuk kemudian diciptakannya tulang belulang (kerangka manusia) yang dibalut dengan daging selama 40 har. fase-fase tersebut meliputi : Setelah terjadinya pembuahan antara sel sperma dan ovum dalam rahim berproses menjadi nutfah selama 40 hari, kemudian menjadi alaqah selama 40 hari dan kemudian menjadi mudlghah selama 40 hari, untuk kemudian ditiupkannya roh serta perlenkgpan manusia lainnya.
Keempat diciptakannya ruh dalam tubuh ciptaannya serta menetapkan ilmu, rezeki, ajal dan celaka-bahagia manusia pada tahap proses Allah berfirman :
“Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam tubuhnya juga roh (ciptaannya dan dia menkadi bagikamu pendengaran, penglihatan dan hati tetapi kamu sedikit sekali bersyukur (Q.S. 32 : 9).
Dari penjelasan diatas tergambarlah bahwa penciptaan manusia dalam proses alami (sunnatullah) terdiri dari 2 aspek pokok yairu aspek material dan aspek immaterial.
Aspek material adalah jasmaniah (jasad) yaitu jisim manusia tubuh badan Abu Ishak menjelaskan bahwa jasmaniah ialah sesuatu yang tidak bisa berpikir dan tidak dapat dilepaskan dari pengertian bangkai.
Aspek material adalah rohaniah. Aspek rohaniah tidak sama seperti aspek jasmaniah ia hanya terlihat dari adanya aktivitas jasmaniah. Beberaoa ulama mencoba memahami dan mendefinisikan roh sesuai dengan pandangan mereka masing-masing antara lain :
Imam Al-ghazali
Imam al-ghazali membagi kepada 2 bentuk yaotu al-ruh yaitu daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri mengenal tuhanya dan mencapai ilmu pengetahuan sehingga dapat menentukan manusia kepribadian berakhlak mulia serta menjadi motivasi sekaligus penggerak bagi manusia dalam melaksanakan perintah allah swt. Yang kedua al-nafs yang berarti penas alami yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi otot-otot dan syaraf manusia.
Ibn Qoyyim
Ibn Qoyyim berpendapat bahwa roh adalah jiwa yang berbeda denga jisim lahiriyah (jasmani)
Al-Farobi berpendapat bahwa roh merupakan daya penggerakan yang memiliki berbagai daya aktif sedangkan al-nafs memberikan pencaran kehidupan sehingga manusia dapat melakukan sejumlah aktivitas. Untuk itu manusia masih memerlukan kedatangan nabi sebagai penolong dalam menafsirkan ayat-ayat allah untuk keberadaan akal manusia setidaknya memiliki enam fungsi yaitu :
Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya
Mengetahuai adanya hidup diakhirat
Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa diakhirat tergantung pada sejauhmana akal mengenal tuhannya dan senantiasa berbuat baik sedangkan kesengsaraannya tergantung pada keterlibatan kedurhakaannya.
Mengetahui bahwa kewajiban manusia mengenal tuhan
Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk bagi kebahagiaannya kelak diakhirat
Membuat huku-hukum mengenai kewajiban tersebut yang belum ada di dinyalir dalam al-qur’an maupun hadits.
4. Tujuan Penciptaan Manusia dan Implikasinya Dalam Pendidikan
Manusia sebagai abd allah (hamba allah)
Manusia dalam kehidupannya dimuka bumi ini tidak bisa terlepas dati kekuasaannya yang transendental (allah) hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba manusia mengsumsikan bahwa mitos yang melahirkan agama aniaisme dan dinamisme meskipun dengan kondisi yang cukup sederhana manusia dahulu telah mengakui ahwa diluar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan menguasai seluruh kehidupannya.
Firman allah dalam al-qur’an
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (alah) tataplah pada fitrah allah, yang selalu menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu tidak ada perubahan pada fitrah allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. 30 : 30).
Manusia Sebagai Khalifah Fil-Ardi
Manusia sebagai makhluk mulia, menempati posisi yang istimewa yang diberikan allah dimuka bumi. Hal ini karena manusia diciptakan dalam “citra allah” sehingga selayaknya manusia disebut sebagai mahkota ciptaannya. Kedudukan manusia dimuka bumi ini di sinyalir allah swt dalam firmannya :
”Dsan ingatlah tatkala tuhanmu berkata kepada malaikat sesungguhnya aku akan menjadikan seorang khalifar dimuka bumi (Q.S 2 : 30).
Bila ayat tersebut dianalisa lebih mendalam, maka akan terlihat bahwa manusia bukan sekedar hiasan, akan tetapi jauh dari itu manusia diberikan tugas utuk memelihara bumi ini. Dalam rangka beri’tiqaod kepada allah sehingga akan membedakannya denganmakhluk lainnya dalam kedudukan dan tanggung jawab.
Secara implisit memberikan gambaran bahwa dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah manusia dihadapkan pada beberapa konsekwensi yang harus dipertanggung jawabkan yaitu :
Senantiasa taat, tunduk dan patuh serta berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama islam.
Mempersiapkan diri denga seperangkat ilmu pengetahuan yang menopang terlaksananya tugas dan fungsinya sebagai khalifah Fil-ardi.
Bertanggung jawab terhadap amanat yang diberikan allah kepadanya, dengan cara memelihara serta memanfaatkan ilmu agama menterjemahkan ayat-ayat alqur’an.
5. Istilah Dan Konsep Fitrah Manusia Menurut Al-Qur’an Dan Hadits
Dalam dimensi pendidikan keutamaan dan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk allah lainnya, secara bahasa kata fitrah berasal dati kata (fathara) yang berarti menjadikan, kata tersebut berasal dari kata al-fahtara yang berarti belahan atau pecahan. Hasan langgulung mengatakan fitrah tersebut sebagai potensi yang dimiliki manusia, potensi tersebut merupakan suatu keterpaduan yang tersimpul dalam al-ama’ al-husna (sifat-sifat allah) dengan berbagai potensi yang dimilikinya, diharapkan manusia dapat hidup dan serasi dan seimbang, dalam konsep ini allah swt berfirman :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungghnya pandangan, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya (Q.S 17 : 36).
Ayat diatas memberikan nuansa bahwa akal manusia mampu untuk hidup dengan harmonis kepada manusia diberikan potensi untuk menjadikan harapan-harapannya tersebut. Ibnu Tammiyah pada diri manusia memiliki sedaknya tiga potensi fitroh yaitu :
Daya intelektual yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk.
Daya ofensif yaitu potensi dasar yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi objek-objek yang mengemukakan dan bermanfaat bagi kehidupannya.
Daya defensif yaitu potensi dasar yang dapat menghindari manusia dari segala perbuatan yang memebahaakan dirinya.
BAB IV
PENDIDIKAN DAN KAITANNYA DENGAN FITRAH MANUSIA
1. Konsep Pendidikan Menurut Islam
Sejarah pendidikan sama usianya dengan sejarah manusia itu sendiri. Dengan kata lain, keberadaan pendidikan bersamaan denga keberadaan manusia. Keduanya tak dapat dipisahkan lagi melainkan saling melengkapi. Pendidikan tidak akan punya arti bila manusia tidak ada didalamnyam karena manusia merupakan subjek dan objek pendidikan. Artinya manusia tidak akan bisa berkembang secara sempurna bila tidak ada pendidikan.
1. Pengertian Pendidikan Islam
Untuk menunjukkan istilah pendidikan, manusia mempergunakan terma istilah tertentu. Dalam bahasa inggris, penunjukkan tersebut dengan menggunakan istilah education. Dalam bahasa arab pengertian kata pendidikan sering digunakan pada beberapa istilah antara lain, Al-Ta’lim yaitu bersifat pemberian atau penyampaian pengertian pengetahuan dan keterampilan., Al-Trabiyah yaitu mengasuh, mendidik dan memelihara dalam leksikal al-qur’an penunjukkan kata al-tarbiyaha yang merujuk pada pengertian pendidikan secara implisit tidak dikemukakan. Dan secara esensial kata al-tarbiyah mengandung dua makna yaitu: adalah merupakan proses transformasi sesuatu sampai pada batas kesempurnaan (kedewasaan) dan dilakukan secara bertahap. dan Al-Ta’dib yaitu proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik.
2. Dasar Pendidikan Islam
Agar pendidikan islam dapat melaksanakan fungsinya sebagai agent of Culture dan bermanfaat bagi manusia itu sendiri maka perlu acuan pokok yang mendasarinya.
Dasar-dasar tersebut diantaranya :
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab Allah swt. Yang memiliki perbedaan luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan umat islam. Ia merupakan sumber pendidikan yang terbungkus, baik itu pendidikan kemasyarakatan (sosial) moral (akhlak) maupun spritual (kerohanian) serta material (kejasmanian) dana alam semedta.
Hadits (Asu-nnah)
Hadits asunnah berposisi dan berfungsi sebagai sumber pendidikan islam yang utama setelah al-qur’an eksistensinya merupakan sumber inspirator ilmu pengetahuan yang berisikan keputusan dan penjelasan dalam al-qur’an tapi masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci.
3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan islam adalah menjadikan manusia sehingga insan pengabdi kepada khaliwnya guna mampu membangun dunia dan mengelola alam semesta beserta isinya.
Aspek-aspek tujuan pendidikan islam
Setidaknya tujuan pendidikan islam
Berorientasi pada tujuan dan tugas pokok manusia
berorientasi pada sifat dasar
Berorientstion ada tuntutan umum dan mayarakat.
Tahap-tahap tujuan pendidikan islam
Secara garis besar tahap-tahap tujuan pendidikan islam itu dapat dikelompokkan kepada 3 tahap yaitu :
Tujuan tertinggi : menjadikan hamba allah yang paling bertanya
Tujuan umum : mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik.
Tujuan khusus : Operasionalisasi dari tujuan umum dimulaki rujuan tertulis fendic’s
Fungsi pendidikan islam :
Fungsi pendidikan islam dapat dilihat dari dua dimensi yaitu :
Dimensi mikro (internal) yaitu manusia sebatas subjecit dan peradaban objek syiejkh.
Dimensi makro (eksternal) yaitu perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia sebagai hasil akumulasi dengan lingkungannya.
4. Tanggung Jawab Pendidikan Islam
Secara umum menurut Hadari yang bertanggung jawab atas maju mundurnya pendidikan termasuk pendidikan islam ada pada puncak keluarga lingkungan rumah tangga) sekolah, lingkungan pendidikan msyakat (lingkungan sosial)


BAB V
REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM SUATU ALTERNATIF DESAIN PENDIDIKAN INTEGRAL

1. Pesan Pendidikan Islam : Suatu Pengembangan Dan Pembinaan Ftitrah Manusia
Perkembangan dan kemajuan peradaban yang telah dicapai manusia modern telah mencapai titik optimal dan sekaligus titik jenuh yang cukup menghawatirkan bagi kelangsungan peradaban yang cukup maju akan tetapi secara psikis, manusia modern telah mengalami kemunduran akibat hilangnya nilai-nilai ilahiyah dalam dirinya, sebagai nilai kontrol setiap aktivitas yang di lakukan sekaligus pembawa ketenangan jiwa. Sistem pendidikan islam mampu mengakomodasi seluruh potensi peserta didik dan dinamis, maka perlu terlebih dahulu dibangun strategi pendidikan yang applicable dan acceptable. Diantara persoalan yang perlu mendapat perhatian dalam merekonstruksi ulang sistem pendidikan yang ideal antara lain adalah :
Tujuan pendidikan
Materi penididikan
Kurikulum pendidikan islam
Metode, sarana, dan prasarana persida
Evaluasi pendidiknya
Kesimpulan jenjang pendidikan
2. Format Pendidikan Islam Dan Relevansinya Bagi Pengembangan Sistem
Pendidikan nasional serta pembinaan manusia indonesia seutuhnya. Pengerbagnan peningkatan kemampuan (skill) sumber daya masyarakat kehidupan pembangunan suara bangsa. Berdasarkan keterang diatas operasional pendidikan dalam hal ini setidaknya ada dua kriteria.
Pentekalan
Pendekat wo
BAB VI
PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI PADIGMA PEMBEBASA
Dalam al-qur’an potensi yang dimiliki manusia diistilahlan fitroh. Potensi atau fitrah yang dimiliki manusia pada hakikatnya merupapakan kemampuan dasar manusia yangmeliputi kemampuan mempertahankan kelestarian kehidupannya. Kemampuan rasional maupun kemampuan srpiritual. Hanya saja kemampuan tersebut masih bersifat embrio utuk itu diperlukan berbagai upaya untuk mengombangkan dan memperkaya potensi tersebut secara aktif. Upaya media pendidikan, setelah kesemuan dimensi potensi tersebut mampu dimunculkan secara aktif dan dinamis potensi tersebut mampu dimunculkan secara aktif dan dinamis maka pedding harnes pulang menjadi alat kontrol baik sebagai kekuatan moral, religious maupun control sosial terhadap dinamika kekuatan perkembangan yang dimiliki peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
HIDEN BY GUNTUR